Selasa, 23 April 2013

Laa Tahzan Innallaha Ma'ana

Malam-malamku sebulan terakhir ini bertabur doa lewat istikharah. Doa harapan senantiasa kumohon dalam sujud-sujud wajibku dan qiyamul lail. Semoga Allah segera mengabulkan doaku ini. Egois memang rasanya tak berhak menuntut segera menjadi kenyataan namun aku yakin Allah Maha Mendengar. Bismillah…
Oke, perkenalkan namaku Fitria Isnaini. Biasa dipanggil Pipit Kini aku masih tercatat sebagai mahasiswi salah satu universitas swasta di Jogja. Tak hanya itu aku juga “nyambi” bekerja di salah satu sekolah menengah pertama sebagai guru honorer. Pekerjaaan ini sudah aku tekuni sejak aku menginjak di semester 6 lalu. Yah, hidup sendiri tanpa saudara di Jogja memaksaku untuk tidak berpangku tangan mengandalkan uang kiriman dari orang tua di Borneo sana.
Hari-hari akhir untuk masa perkulihanku sudah di depan mata. Aku sudah mengikuti KKN, PPL, skripsi dan serentetan tugas-tugas lainnya. Pertengahan Juli tahun ini aku akan segera wisuda S-1, Alhamdulillah… semoga lancar, Aamiin. Namun hal itu tidak terlalu mengganggu pikiranku, meski aku juga dag-dig-dug menanti moment special tersebut tapi jauh dalam hatiku terselip pikiran yang lebih mengganjal. Dua minggu yang lalu orang tuaku datang ke Jogja. Sangat tak ku sangka sebab sebelumnya baik Ayah atau Ibu tak pernah membicarakan hal ini. Waktu itu mereka sampai di kostku sekitar pukul 3 sore. Selepas sholat maghrib tanpa ba-bi-bu panjang lebar kedua orang tuaku membicarakan niatnya datang ke Jogja. Enough… sudah aku duga sebelumnya, setelah wisuda nanti kedua orang tuaku ingin aku segera menikah. Menikah Oh, siapa sih yang gak pengen melaksanakan sunnah Rasul tersebut menyempurnakan separuh agamanya. Tapi.. tapi.. hey apakah ini tidak terlalu terburu-buru… Juli tahun ini umurku baru 23 tahun lebih 5 bulan dan itu umur yang menurutku masih amat sangat terlalu muda sekali.
“pokonya cepet pulang ya nduk.” ucap wanita paruh dari seberang sana. “iya iya Bu, besok Pipit segera meluncur ini juga baru “ngepak-ngepak” kok.” Jawabku sopan. “yasudah, kamu terusin lagi, ini Ibu mau ngaji di rumah Bu Mawardi…” Ucapnya lagi dengan memberi tanda mengakhiri percakapan singkat ini.
Haaahh… aku menarik napas dalam-dalam.. 4tahun silam, di kota ini, aku bermimpi dan melabuhkan harapan-harapan itu, mencoba merangkai asa semua tentang dinamika hidup. Yah, Jogja..aku mengenalmu tak hanya dalam hitungan hari atau bulan tapi bertahun-tahun. Menimba ilmu dan menemukan arti sebuah perjuangan bertahan hidup. Mempertemukan aku dengan banyak pelajaran banyak hal banyak orang, kampus, teman-teman, pacar. Eh…pacar Dan kini sudah tiba saatnya aku kembali ke pulau seberang, yeah Borneo I’m coming
-4 hari kemudian-
“gimana nduk…sudah ada yang kamu pandang cocok.” kata Ayahku mengawali perbincangan sore itu di ruang tamu.
“ini kebetulan Ibu ada foto dan data dari para ikhwan.” Tambah Ibuku sambil menyodorkan lembaran-lembaran kertas dan beberapa foto.
Aku mengambilnya. Jantungku berdegup kencang keringat dingin menyerang tangan pun gemetar. Aku amati satu persatu ikhwan-ikhwan tersebut dalam foto dan kubaca biodatanya. Aku tak mengerti sebenarnya apa maksud semua ini. Kenapa kedua orang tuaku sangat bersikeras bahwa aku harus segera menikah. Padahal apa, aku ini masih muda kuliah juga baru selesai kerja pun belum dapat apa-apa pengalaman dunia luar pun masih kurang. Dan yang lebih memilukan, aku sudah punya pacar. Bayu, yah dia pacarku selama 2,5 tahun ini. Dia satu kampus denganku namun berbeda prodi dan Juli kemarin pun dia juga wisuda.
Satu minggu sebelum kepulanganku, aku mencoba bercerita semuanya. Namun segera ku urungkan niat itu ketika kami bertemu disebuah kafe. Kulihat wajah wibawanya, kutatap dua sorot matanya. Jauh. Dalam. Hatiku semakin kalut, sakit, semua kenangan dengannya itulah yang menghambat tenggorokanku menyumbat sekat antara hati, pikiran, dan perasaan. Bulir dari tetes air mataku pun memecah keheningan senja itu. Bayu mengangkat wajahku. Menatap lekat.
Tampaknya Bayu merasakan keanehan dalam diriku jauh-jauh minggu sebelumnya. Sikapku yang tiba-tiba cuek, judes dan sangat sensitif. Tidak nyaman. Namun, dia memahami dan tidak curiga bahwa aku menyimpan rahasia yang menyakitkan. Meskipun begitu kami masih berkomunikasi dengan baik layaknya orang pacaran. Tiap malam dia juga menelepon. Memberi pesan agar aku selau baik-baik di rumah dan menyempatkan memberi kabar. Dia juga menitip salam buat kedua orang tuaku.
Kembali… aku hanya diam, menahan napas beberapa detik dan melepaskannya pelan. Ada ait tertahan dalam pelupuk mataku. Sakit. Aku meletakkan foto-foto itu di atas meja tanpa berkomentar dan tidak berani meanatap kedua orang tuaku. Aku sangat terpojok dalam situasi seperti ini. Aku ingin berlari ke kamar namun tubuhku mendadak berat kaki pun kaku.
“nduk Pit ” Tanya Ibuku tiba-tiba. Aku kaget dan tanpa sadar aku pergi meninggalkan mereka berdua. Menangis.
-RSJ Mitra Sehat, 09.30 a.m-
“kakak… apa kabar ini kami datang membawa buah apel kesukaan kakak.” Ucapku lirih pada wanita di depanku. Muhaima Safitri, kakakku yang pertama dan yang terakhir. Dia sedang sakit, sakit jiwa lebih spesifiknya. Tiga tahun berada di rumah sakit ini berharap mendapatkan perawatan dan dapat mengobati sakitnya. Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil. Semua berawal ketika kakakku ingin menikah dengan seorang ikhwan asal Padang. Rencana yang indah-indah pun sudah kami susun. Hajatan, pengajian, baju pengantin, kado-kado, makanan, dekorasi semua tak berguna lagi ketika 1 hari sebelum ijab qobul si ikhwan dan keluarga tak kunjung datang. Sms dan telepon sudah dilakukan. Hingga kami mendapat kabar dari saudara si ikhwan bahwa pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Astaghfirullah keluarga kami pun “geger” bukan kepalang apalagi kakakku yang langsung pingsan waktu mendengar itu semua. Dan inilah, sampai sekarang semua itu mungkin menjadi sebab kakakku stress, depresi, frustasi atau apa entahlah yang jelas jiwanya terganggu.
“kakak jangan sedih ya jangan menyerah kami selalu ada kok pokonya kakak harus semangat, doa kami yang terbaik untukmu kak.” Ucapku lagi sambil memeluk wanita ini. Tiba-tiba air mataku menetes membasahi kerudung birunya. Dia hanya tertawa layaknya orang gila di jalanan. Memandang kami sinis tak sadar bahwa kami adalah keluarganya.
“nduk, kami melakukan semua ini untuk kebaikanmu. Kami ingin kamu bahagia.”
“iya Pipit tahu Bu, tapi apa ini tidak terlalu buru-buru, menikah semuda ini. Bukan maksudku tidak mau tapi menurutku ini belum waktunya. Aku belum bekerja Bu, belum mengabdikan ilmu yang ku dapat selama 4 tahun di Jogja.”
“Ayah, Ibu…aku mohon beri waktu buat Pipit untuk berpikr. Aku belum siap meskipun ini sunnahnya. Pipit…Pipit juga sudah punya pacar kok Bu.”
“nduk, kamu boleh berpacaran dengan siapapun asalkan dia baik. Baik dalam hati tentunya, tapi untuk pacarmu di Jogja itu maaf Ayah tidak setuju.”
“kami tidak ingin kamu sembarangan mencari pasangan hidup nduk, ini pasti yang terbaik untukmu. Kami tidak ingin nasibmu sama dengan Kak Ima.”
Deg…jantungku seolah berhenti, jadi selama ini alasan orang tuaku menyuruh segera menikah agar aku tidak seperti Kak Ima yang bernasib gila itu yang akan menjadi stress muda gara-gara ditinggal mati calon suaminya itu Ya Allah… mengertikanlah mereka
Seiring berjalannya waktu…
Sebelum proses ta’aruf dengan ikhwan yang mengajar tahsin ini aku sempat ta’aruf dengan ikhwan lain di luar kota atas info pamanku. Aku sreg dan mantap dengannya setelah kuperoleh biodata tentangnya. Selain, shalih, rajin ngaji, sarjana dia juga sudah mapan. Soal fisik dari yang kubaca, dia tipe yang ideal yang dicari para wanita. Nah, siapa yang tak senang ditawari ikhwan seperti itu. Sekarang aku hanya perlu bersabar dan berdoa tentang semua ini.
Tapi, harapan tinggal harapan. Proses tak berlanjut seperti impianku. Tiga hari kemudian aku mendapat kepastian bahwa ikhwan mundur. Alasannya karena fisikku. MasyaAllah, meski sangat kecewa aku terima keputusan ini. Maklumlah, fisikku memang sangat tidak “berkelas” tinggiku tak lebih dari 155cm kulitku juga tak seputih kebanyakan wanita lainnya. Namun, Alhamdulillah, ku syukuri pemberian-Nya kubesarkan hati InsyaAllah masih ada ikhwan yang menerima kekurangan dan mau melihat sisi positifku.
Hingga suatu ketika ada tawaran untuk ta’aruf lagi, dengan bismillah aku menyambutnya. Proses memang agak lambat. Aku harus menunggu sepekan untuk memperoleh biodatanya. Teman perantaraku bilang dia nggak mau gegabah karena sangat berhati-hati. Dia seorang sarjana S1 teknik industri. Soal pekerjaan pun dia terkesan sangat merendahkan. Dan kurasa itu tambahan nilai plus untuknya. Kuceritakan diriku dan keluargaku apa adanya. Berbeda dengan si ikhwan yang latar belakang agamanya sudah bagus. Sementara aku saja baru berkerudung kecil, itupun kalau mau brpergian. Aku bukan anak pondok pengetahuan tentang ilmu agama sangat terbatas. Jujur saja aku merasa minder, akankah latar belakang keluargaku menjadi nilai minus-ku untuk melanjutkan proses ta’aruf ini ataukah mukjizat Allah berpihak kepadaku atau bahkan Allah merencanakan kehendak lain
Dalam penantian yang cukup membuatku galau ini, tiba-tiba saja kabar mengejutkan datang dari Bayu. Hey…aku sudah melupakannya, ehm hampir maksudku. Sosok yang kini agak asing di hatiku. Yah waktupun yang menjawab semua aku jujur adanya bahwa kembaliku ke Borneo untuk menerima tuntutan ini, tuntutan untuk menikah.. lucu ya Aku tahu ini sangat menyakitkan baginya, bagiku juga (dulu). Aku tak dapat menerima kenyataan ini melepas orang yang ku sayang demi menuruti kemauan orang tua. Alasannya simple, karena Bayu menurut Ayah tak baik untukku. Itu saja. Namun semua itu dapat aku pahami perlahan meskipun butuh waktu untuk menata hati.
Assalamualaikum, hai Pipit apa kabar ku hrp kau baik-baik sja, ehm.. aku tau ini adlh keadaan yg berat utk kita tp yah aku mengerti memang sejak awal keluargamu tak membuka restu utk ku. No problem aku bisa terima mski sakit dan trpaksa. biarkan smua brlalu. Semoga kamu bahagia dg plihan itu. Oh ya aku jg sudah mendapatkan penggantimu, namanya Intan. Doakan smoga kami langgeng. Wsslam.
Kurang lebih seperti itulah sms dari Bayu. Mungkin itu sms terakhir darinya saat ini. Membaca semua itu membuat pikiranku kembali ke masa-masa kuliah. Tiba-tiba saja hatiku tak karuan, orang yang dulu selalu menemaniku di Jogja yang selalu membuatku jengkel karena sifat cueknya yang selau “ngemong” saat aku bertingkah manja yang selalu bersikap dewasa dan wibawa ketika aku merasa lelah yang harus aku tinggalkan demi orang lain yang sekarang tak tahu kepastiaannya justru kini sudah mendapatkan penggantiku. Ya Rabby di tengah harapanku yang belum pasti lagi ini tetap kuatkan hatiku rengkuh jiwaku dan kuatkan keimananku. Karena sampai saat ini masih ku junjung harapan itu. Tak berhenti aku berdoa, jika ikhwan itu jodohku, semoga Engkau dekatkan namun jika tidak, aku harap aku bisa menerima ini dengan lapang dada. Aamiin

Bintang

Begitu banyak bintang dilangit. Tapi mengapa kita tak bisa memiliki satu bintangpun diantara persekian triliun bintang itu? -Inez
Tentang Fadil
Sudah selarut ini aku belum tidur. Tak seperti biasanya aku begini. Aku benar-benar merasa tak enak pada Inez. Kemarin aku baru saja memutuskannya. Itu semua gara-gara aku melihatnya berjalan berdua bersama pria lain. Apakah selama hubunganku dengannya dia menyembunyikan semua ini?
Tapi aku benar-benar mencintai gadis ini. Aku cemas padanya kini. Salahku mengatakan kata-kata itu.
***
“Jadi selama ini kau..”
“Tidak, ini tidak seperti yang kau pikirkan, aku bisa menjelaskan semuanya” Pinta Inez padaku.
“Aku tak perlu penjelasan darimu semuanya sudah jelas! Mulai saat ini kita putus!” Bentakku padanya, aku berbalik tak ingin menatapnya. Aku benar mendengar langkahnya berlari pergi, dia berlari menjauh. Sementara pria itu memegang pundakku.
“Ini semua tak seperti yang kau lihat”
“Diamlah!” Aku menepisnya.
“Bahagialah bersamanya” Lanjutku.
“Brukk” Tiba-tiba ku dengar suara hantaman keras, aku langsung berbalik, pria itupun sama. Seketika aku tak percaya apa yang terjadi
“I.. nez”

Peristiwa itu, masih tergambar jelas tiap detik malam itu. Satu kenangan yang sangat ingin aku lupakan. Kenangan yang terlalu pahit untuk ku ingat. Namun aku benar-benar tak bisa menolak apa yang telah terhampar disini. Yang paling ku sesali adalah ketika mengetahui pria tersebut adalah kakaknya sendiri.
***
“Inez” Lirihku menggenggam tangan dingin kecilnya. Kini dia hanya bisa berbaring diranjang dengan bantuan alat pernafasan dan selang infusan ditangannya untuk menambah umurnya walau dalam keadaan tak sadar. Apakah dia akan koma selamanya?
Aku benar-benar dapat melihatnya kini. Melihat wajah ayunya yang lugu, mata bulat kecilnya yang tertutup, hidung mancungnya yang mungil, bibir tipisnya yang manis. Aku benar-benar masih ingat kenangan-kenangan indah yang mungkin terlalu manis untuk dilupakan.

“Mengapa bintang dilangit sangat banyak ya?” Ucapku padanya. Dia hanya tersenyum kecil mendengarnya.
“Begitu banyak bintang dilangit. Tapi mengapa kita tak bisa memiliki satu bintangpun diantara persekian triliun bintang itu?” Desahnya.
“Mengapa ada bintang dilangit?”
“Orang bilang, setiap orang meninggal akan diangkat jiwanya dan akan menjadi bintang dilangit. Dan bintang yang paling bersinar menandakan bahwa orang itu telah hidup bahagia disana” Jelasnya. Aku tersenyum mendengar dia. Diapun menyandarkan kepalanya dibahuku. Aku mendekapnya.
“Bintang dilangit memang tak bisa dimiliki. Tapi bintang yang ada disisiku bisa dimilki tidak ya?” Desisku padanya.
“Menurutmu?”

“Inez maafkan aku, sampai kapan kamu akan begini? Aku tahu aku adalah lelaki bodoh, aku bodoh, aku seharusnya tak memutuskanmu Inez” Isakku padanya. Aku sungguh tak kuasa menahan air mataku melihat keadaannya kini. Aku menyesal telah membuatnya seperti ini. Jika aku tak mengucapkan hal itu tak mungkinlah dia begini.
“Sudahlah ini hanya kecelakaan, jangan salahkan dirimu” Bella menyemangatiku. Aku hanya diam saja. Dan tetap melihat Inez. Aku menatapnya dalam-dalam, masih terlukis jelas dibenakku seuntai senyumnya. Senyum yang paling manis yang aku lihat.

“Kau tahu disekitar sini banyak ruh berkeliaran” Ucapnya menakut-nakutiku.
“Aku tak percaya” Kelakarku.
“Kau masih tak percaya? Ruh orang-orang yang sedang koma atau tak sadar sedang berada disini. Mereka mengintaimu Fadil, mereka ingin bermain denganmu” Ucapnya ditelingaku.
“Merekapun ingin bermain denganmu”
“Ish” Desahnya. Aku tertawa-tawa melihatnya.

Saat itu, dia bilang ruh orang yang koma atau tak sadar sedang berkeliaran disini. Tunggu. Berkeliaran. Apakah dia ada disini juga?
Ahh mustahil. Dia hanya bermain-main saja, aku tahu benar sifatnya.
“Aku disini” Seseorang mendesah.
“Apa siapa itu? Inez, Inez” Aku mencari-cari asal suara itu, namun aku tak kunjung menemukan siapa itu. Disini hanya ada aku dan Inez.
***
Tentang Inez
“Aku disini Dil, disini. Apakah kau tak melihatku? Kau harus percaya Fadil, percaya apa yang aku ucapkan” Aku terus mendesah padanya. Berbagai cara telah ku lakukan agar dia bisa melihatku, namun selalu menghasilkan yang sama. Gagal.
“Fadil” Aku meraih sedikit bahunya. Ku lihat jelas raut wajahnya yang lusuh. Dia pasti mencemaskanku. Maafkan aku Fadil.
“Mengapa kau tak bangun Inez?” Keluhnya sendiri.
“Aku disini, lihat aku Fadil”
“Tega kau melakukan ini padaku Inez” Desahnya lagi.
“Aku tak pernah bermaksud menyakitimu” Aku terduduk didepannya. Menatap mata dan wajahnya. Benar-benar penuh dengan kesedihan. Maafkan aku.
“Sadarlah, dan katakan bahwa kau bisa hidup lagi. Bisa menemaniku disini lagi Inez. Bisa terus bersamamu” Kini dia makin menangis. Aku menyentuh pipinya yang penuh air mata. Aku tahu dia tak dapat melihat dan mendengarku, tapi aku yakin dia merasakanku.
“Aku bisa menemanimu Fadil, terus bersamamu. Dihatimu Fadil, namun aku tak pasti akan kehidupanku lagi. Tak pasti” Aku menyeka air matanya walau aku tahu aku tak bisa. Tiba-tiba dia berdiri, aku benar-benar kaget. Diapun pergi meninggalkan tubuhku. Seketika aku mengikutinya.
“Jadi dia tak akan bangun lagi?” Tanya Fadil serius. Aku sedikit mendengar pembicaraan Fadil dan Bella.
“Dokter bilang, sudah tak ada harapan lagi, dan dia akan koma selamanya, dia bisa bangun jika terjadi keajaiban” Bella terisak, aku kaget mendengar semua ini, Fadil terduduk di ruang tunggu sambil menangis dan menunjukan wajah bingung juga resah. Aku terduduk disampingnya sambil terisak. Aku memeluknya walau aku tahu pelukanku tak nyata.
“Tuhan, jika kau izinkan saja sekali aku untuk bisa menyampaikan kata terakhir padanya” Isakku. Seketika cahaya putih menyilaukan mataku.
***
Tentang Fadil
“Kau tahu saat matahari terbenam dia pergi kemana?” Tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng pelan.
“Memangnya kemana?”
“Dia sedang bersembunyi” Ucapnya lagi.
“Hahah, leluconmu tak lucu” Ejekku. Dia hanya memonyongkan sedikit bibirnya.
“Aku serius.” Ucapnya lagi.
“Kau tahu. Bumi ini berputar mengelilingi matahari. Akibatnya sebagian bumi yang sebelah barat tak tercahayai oleh matahari. Karena itu dia berada di timur. Ketika sore, bumi yang tadinya tak tercahayai matahari tercahayai karena bumi terus berputar. Akibatnya matahari tenggelam” Jelasku padanya.
“Kau salah”
“Kau keras kepala.”
“Kau tahu kenapa matahari bersembunyi?” Tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng.
“Karena dia sedang mengintip kita dan pura-pura tak melihat kita. Dia malu jika dia harus memperpanjang waktunya. Akibatnya dia bersembunyi dibalik bulan. Dan kau tahu mengapa bulan berubah bentuk?”
“Aku tak ingin menjawabnya, pasti selalu salah” Ucapku kesal.
“Haha, begitu banyak benda di dunia ini yang tak kita mengerti” Desahnya. Diapun merangkul tanganku yang kebetulan saat itu kami sedang tiduran di taman sambil menatap bulan. Dengan posisi yang berbalik antara aku dan dia, itu adalah saat yang romantis untukku.
“Bisakah kita mengulangnya lagi Inez” Seruku sambil memanggil namanya.
“Aku harap kita bisa melakukannya” Seru seseorang yang mungkin tak asing kedengarannya. Aku sangat kaget saat itu juga. Aku berbalik dan kulihat
“Inez. . Kau?” Aku sedikit tergagap melihatnya kini ada di depanku.
“Tidak-tidak, dia tak nyata itu hanya halusinasi” Akupun mulai berbalik dan hendak pergi meninggalkan rumahku dan menuju rumah sakit.
“Aku nyata” Ucapnya lagi. Aku yang saat itu sedang berjalan, terhenti seketika.
“Aku nyata. Apakah itu masih kurang untuk membuatmu percaya padaku?” Desahnya lagi. Aku berbalik lalu aku mulai menatap matanya. Persis ku lihat pandangan itu, pandangan yang selalu ku rindukan. Persis ku lihat seulas senyum menyinari wajahnya.
“Kemarilah, aku tahu kau tak akan percaya ini”
“Apakah aku tak bermimpi Inez?” Tanyaku padanya. Dia tersenyum padaku walau aku tahu ada raut sedih dimatanya.
“Maafkan aku Inez” Akupun langsung berlari menghampirinya lalu memeluk erat-erat tubuhnya.
“Inez maafkan aku”
“Tidak, aku yang harusnya minta maaf padamu. Aku membuatmu terpuruk seperti ini, aku mengaku salah” Sesal Inez padaku.
“Tidak nez, jujur saja. Jika aku tak memutuskanmu semuanya akan baik-baik saja. “Aku terisak sambil melepaskan pelukanku.
“Sudah sekarang kita tak perlu saling menyalahkan. Ini semua sudah takdir yang dijanjikan Tuhan” Tenangnya padaku.
“Inez, aku menyesal telah memutuskanmu. Mari kita mulai lagi cinta kita” Pintaku padanya. Dia terdiam.
“Tidak kita tak bisa melakukannya lagi. Kita sudah berbeda dunia” Jelasnya padaku.
“Apa maksudmu?”
“Aku tak bisa kembali lagi padamu” Desahnya sambil menahan air matanya.
“Mengapa tidak jelas sekali sekarang kita ada disini, kita bisa bersama” Ucapku
“Tidak, kita tak bisa” Dia terus meyakinkanku.
“Mengapa begitu? Ayolah buat lelucon dan kata-kata lucu untukku lagi. Buatlah pertanyaan yang selalu aku salah menjawabnya. Buatlah. Aku rindu itu sangat.” Desahku sambil menangis.
“Jangan menangis, akupun merindukanmu. Kau bisa mengingat kata-kataku. Bintang tak mungkin bisa dimiliki, namun ada saatnya kau bisa melihat bintang yang ingin kau miliki bersinar padamu.”
“Maksudmu?” Aku benar-benar tak mengerti apa yang dia ucapkan.
“Kau akan mengerti suatu saat nanti. Mungkin ini adalah saat yang sempurna untuk mengatakan selamat tinggal padamu.” Dia mencoba tegar sepertinya walau ku tahu apa yang diinginkan kata hatinya.
“Apa? Secepat itukah? Mengapa kau harus pergi sekarang?” Aku terus menarik tangannya, namun dia hanya terdiam.
“Banyak urusan yang belum ku lakukan disini. Namun aku tahu takdir mengatakan aku harus berpisah secepat ini, berjanjilah untuk tetap saling menyayangi.” Ucapnya, aku semakin menggenggam erat tangannya namun perlahan tangan itu terlepas.
“Inez, Inez, jangan lakukan ini” Ucapku padanya tapi dia hanya terdiam seketika bayangan putih membawanya dan dia hilang.
“Inezzzz”
“Fadil” Tiba-tiba Bella datang dengan penuh isak tangis, aku memandangnya heran.
“Ada apa Bel?”
“Inez, Inez, dia dia dia sudah tak ada” Desahnya sambil mengeluarkan buliran itu. Dia terlemas dipangkuanku, aku mengelus-elus kepalanya tak percaya apa yang terjadi.
***
Aku terduduk ditaman biasa aku bersama Inez, taman ini menyimpan berjuta kenangan bersama Inez, semuanya indah tak ada yang tak indah. Malam ini seakan-akan aku akan mengingat kata-kata Inez.
Ku ambil buku dan ku tulis sesuatu disana,
“Inez kau tahu, aku disini melihat banyak bintang, dan kau bilang aku bisa melihat bintang yang ingin ku miliki bersinar. Kau juga bilang, jiwa orang yang telah meninggal diangkat dan akan menjadi bintang, akankah kau bersinar untukku?”
Seketika ku lihat langit dan ku lihat satu bintang memancarkan sinarnya dan kembali ke sinar semula.
“Inez”
SELESAI